Teladan Itu Nomor Satu
Saya punya pengalaman pahit yang bisa saya sharingkan di sini, agar tidak sampai terulang kepada Anda. Tentang pengalaman dalam proses menghilangkan sifat saya yang pemarah. Semenjak gadis, teman-teman kuliah sesekali mengingatkan saya tentang buruknya sifat pemarah yang saya miliki. Hingga setelah menikahpun, suami tercinta tak juga bosan-bosannya mengingatkan pula akan hal tersebut.
Masih lekat dalam ingatan, kebiasaan saya membanting pintu jika rasa marah sedang menghinggapi hati. Kalau pun ingin ngambek, bisa seharian saya mengurung diri dan mogok bicara kepada suami. Beruntung, suami saya sangat penyabar. Kalau tidak, pasti sudah meninggalkan saya.
Bodohnya saya saat itu, karena meremehkan nasehat-nasehat suami untuk belajar mengurangi sifat buruk tersebut. Perasaan saya berkata, permintaan suami tersebut terlalu berlebih-lebihan. Walau saya sadar memiliki sifat pemarah, namun saya piker tidaklah terlalu parah dan tidak akan memberikan akibat yang terlalu negatif bagi orang lain. Maka semua nasehat itu pun lebih menjadi angin lalu, masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Baca juga : Minuman Yang Manis Ternyata Bisa Menguatkan Daya Ingat Kita Sampai 5 Kali Lipat
Keadaan tidak berubah hingga kami memiliki anak pertama, seorang putri yang manis. Saya baru merasa ada yang salah, ketika di usia menjelang tiga tahun, saya sadari bahwa putri kami ini tumbuh menjadi bocah pemarah. Dan gayanya ketika marah, persis sekali dengan gaya khas kemarahan saya. Nada kemarahan serta kata-kata yang dipergunakannya, sama dengan yang sering saya lontarkan. Saat itulah saya merasa benar-benar terpukul. Betapa buruknya saya melihat ekspresinya ketika marah. Barulah saya menyadari, betapa jauh lebih buruknya saya yang menjadi panutannya ini.
Sejak saaat itulah tumbuh tekad kuat dalam hati saya untuk mengubah diri. Menghilangkan, atau setidaknya mengurangi sifat pemarah. Percuma saja saya menasehati anak untuk menghilangkan sifat pemarahnya, jika ia masih terus menirukan kemarahan yang saya tunjukkan.
Sehebat itulah peran orangtua sebagai teladan bagi anak-anaknya. Baik sebagai teladan yang baik maupun teladan yang buruk. Jika ingin anak tidak pemarah maka jangan jadi orangtua pemarah, jika tidak ingin anak egois maka jangan jadi orangtua egois, begitu juga hal-hal yang lainnya berikanlah contoh yang baik. Maka, berhentilah berbicara dan menasehati jika tak sesuai dengan apa yang Anda lakukan.
Masih lekat dalam ingatan, kebiasaan saya membanting pintu jika rasa marah sedang menghinggapi hati. Kalau pun ingin ngambek, bisa seharian saya mengurung diri dan mogok bicara kepada suami. Beruntung, suami saya sangat penyabar. Kalau tidak, pasti sudah meninggalkan saya.
Bodohnya saya saat itu, karena meremehkan nasehat-nasehat suami untuk belajar mengurangi sifat buruk tersebut. Perasaan saya berkata, permintaan suami tersebut terlalu berlebih-lebihan. Walau saya sadar memiliki sifat pemarah, namun saya piker tidaklah terlalu parah dan tidak akan memberikan akibat yang terlalu negatif bagi orang lain. Maka semua nasehat itu pun lebih menjadi angin lalu, masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Baca juga : Minuman Yang Manis Ternyata Bisa Menguatkan Daya Ingat Kita Sampai 5 Kali Lipat
Keadaan tidak berubah hingga kami memiliki anak pertama, seorang putri yang manis. Saya baru merasa ada yang salah, ketika di usia menjelang tiga tahun, saya sadari bahwa putri kami ini tumbuh menjadi bocah pemarah. Dan gayanya ketika marah, persis sekali dengan gaya khas kemarahan saya. Nada kemarahan serta kata-kata yang dipergunakannya, sama dengan yang sering saya lontarkan. Saat itulah saya merasa benar-benar terpukul. Betapa buruknya saya melihat ekspresinya ketika marah. Barulah saya menyadari, betapa jauh lebih buruknya saya yang menjadi panutannya ini.
Sejak saaat itulah tumbuh tekad kuat dalam hati saya untuk mengubah diri. Menghilangkan, atau setidaknya mengurangi sifat pemarah. Percuma saja saya menasehati anak untuk menghilangkan sifat pemarahnya, jika ia masih terus menirukan kemarahan yang saya tunjukkan.
Sehebat itulah peran orangtua sebagai teladan bagi anak-anaknya. Baik sebagai teladan yang baik maupun teladan yang buruk. Jika ingin anak tidak pemarah maka jangan jadi orangtua pemarah, jika tidak ingin anak egois maka jangan jadi orangtua egois, begitu juga hal-hal yang lainnya berikanlah contoh yang baik. Maka, berhentilah berbicara dan menasehati jika tak sesuai dengan apa yang Anda lakukan.